GKJ Jakarta: 18 Juli 2021
Tema Bulan Juli: “Tuhan Beserta Kita”
Sub-Tema Minggu ini: “Yesus Kristus Damai Sejahtera
yang Merengkuh Semua”
Bacaan Alkitab: Markus 6:30-34, 53-56.[1]
Sdr-sdr dan anak-anak, yang dikasihi dan mengasihi TYK
Sering kita berfikir, kalau Tuhan beserta kita alangkah enaknya. Di manapun kita berada atau pergi Tuhan hadir beserta kita. Coba lihat keadaan para murid Tuhan dalam bacaan kita, ketika Tuhan beserta mereka berarti mereka juga harus bekerja keras bersama Tuhan yang selalu dikerubuti orang banyak yang membutuhkan kesembuhan dan pengajaran. Dalam situasi yang demikian tentulah para murid-Nya tidak hanya menjadi penonton yang hanya berdiam diri, akan tetapi mereka pun sedapat-dapatnya turut serta melayani orang banyak dan kebutuhan mereka. Bayangkan, betapa melelahkannya, setiap hari dikerubuti orang banyak yang membutuhkan jamahan Yesus, baik demi kesembuhannya, maupun kebutuhan akan pengajaran yang mencerahkan “hati, jiwa dan pikiran” mereka seutuhnya! Karena itu kita tidak perlu heran pada waktu membaca bahwa Yesus menawarkan atau mengajak para murid-Nya untuk “nyepi, sendiri dan beristirahat” barang sejenak. Tetapi kebutuhan para murid ini bertabrakan dengan kebutuhan orang banyak yang terus “menguntit” Yesus untuk mendapatkan penyembuhan dan pengajaran.
Lalu dalam situasi yang demikian apa yang harus dilakukan?
Bacaan leksionari minggu ini, menunjukkan bahwa Yesus sangat memperhatikan dimensi kemanusiaan para murid-Nya yang sudah sangat kelelahan. Mereka selalu bersama Yesus, Sang Guru, berada di tengah dan melayani orang banyak di Galilea dan daerah di sekitarnya. Oleh karena itu Yesus mengajak mereka: “Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahat seketika!“(ay 31). Mungkin ini perkataan Yesus yang paling melegakan para muridnya yang sudah kelelahan — yang kita temukan di dalam Alkitab. Tuhan mengajak para murid-Nya untuk beristirahat di tempat yang sunyi dan tidak berhubungan dengan siapapun? Hanya mereka sendiri, mungkin bisa tidur siang, atau melakukan sesuatu hanya untuk kesenangan diri sendiri? Atau untuk merawat diri sendiri – secara fisik maupun mental dan spiritual? Yesus bermaksud memberikan kesepatan bagi para murid untuk merawat dirinya sendiri, “jangan hanya mengurus urusan orang banyak.”
Kita yang mempunyai bisnis kecil atau besar, kita sebagai guru, sebagai para medis (y.i. dokter, bidan, perawat, analis, dll yang melayani di bidang medis), orang tua dengan anak-anak yang kecil yang harus sekolah secara daring (online) dan anak-anak yang juga kelelahan dan mulai bosan dengan ruang gerak yang sangat terbatas selama pandemi, atau anak-anak kecil yang selalu mengutit orang tuanya kemanapun orang tuanya bergerak, . . . kita semua juga dapat kelelahan karena tidak bisa melepaskan diri dari tanggungjawab terus-menerus yang mengejar dan yang bertambah berat selama pandemi. Ada kerinduan dan kebutuhan untuk sedikit beristirahat (break) – untuk istirahat dari semuanya itu – dan barang sejenak nyepi. Siapa tahu, dengan meninggalkan semua itu barang sejenak, kita lalu sadar bahwa sesungguhnya kita tidak dibutuhkan ‘banget-banget,’ tidak seperti yang kita bayangkan? Lalu kita bisa berfikir tentang hal lain apa yang kita bisa lakukan, yang membangkitkan rasa dibutuhkan yang menjadi kebutuhan setiap orang?
Saya membedakan “keheningan” dari “kesepian.” Dalam keheningan kita mendapat kesempatan untuk retreat (istilah yang sangat sering digunakan secara salah kaprah), karena retreat ialah kesempatan untuk recharging (“me-nge-cas kembali baterai” diri kita), dan memampukan kita untuk melakukan discernment (kemampuan untuk menimbang dan memutuskan dengan baik tanpa menghakimi).
Malangnya, seperti yang sering terjadi, rencana untuk istirtahat dan nyepi barang sejenak, di tempat tujuan mereka ternyata tidak sepi. Orang-orang yang membutuhkan pertolongan mengetahui tempat yang menjadi tujuan Yesus dan para murid-Nya. Mereka dengan cepat berjalan kaki menuju ke tempat itu. Sedemikian cepatnya mereka berbondong-bondong menuju ke sana dan tiba di sana mendahului Yesus dan para murid yang naik perahu.
Jaman sekarang, orang yang membutuhkan tidak perlu berlari-lari atau berbondong-bondong. Ada telepon selular yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan. Ada pesan singkat yang dapat diketik dan dikirimkan secepat kilat. Bahkan ke manapun di seluruh dunia sepanjang tersedia antena relay. Kebutuhan manusia pada masa kini sungguh besar – sedemikian besarnya sehingga orang tidak dapat menanganinya sendiri, walaupun sejenak. Mereka bagaikan domba-domba tanpa gembala.
Dalam bacaan kita, kita menyaksikan betapa Yesus peduli atas persoalan dan kebutuhan manusia, juga kebutuhan kita semua. Yesus mengetahui benar kebutuhan para murid akan waktu untuk istirahat, dan pada saat yang sama juga memahami kebutuhan orang banyak akan penyembuhan dan pengajaran.
Malahan, di antara ke dua bagian dari Injil yang telah kita baca, kita menemukan kisah bagaimana semua orang itu “makan sampai kenyang”(ay 42) — baik para gembala (para murid Yesus) maupun para domba (orang banyak) — dari lima ketul roti dan dua ekor ikan.
[Tuhan memilih merengkuh semua – baik para murid-Nya, maupun orang banyak dengan kebutuhan mereka. . . . Setelah mujizat pemberian makanan kepada 5000 orang lebih, Yesus menyuruh para murid-Nya untuk berperahu menyeberangi Danau Galilea sendiri, sementara itu Yesus naik ke atas bukit dan berdoa. Saya bayangkan para murid tentu senang sekali, sejenak mereka boleh berperahu tanpa Yesus dan mereka boleh mempercakapkan apa saja yang ingin mereka percakapkan].
Pandemi Covid telah memberikan pelajaran bahwa kita semua sama. “Kita sama-sama ringkih saat berhadapan dengan virus ini.” Orang kaya, orang miskin, orang berkulit putih, berkulit hitam, coklat, kuning, merah, tua dan muda . . . siapapun, selama dia manusia, dia dapat tertular oleh Covid-19 yang sedang merajalela di seluruh muka bumi.
Sikap membeda-bedakan telah menjadi penyakit yang merusak “citra Allah” dalam diri manusia. Manusia yang Allah ciptakan sama – karena diciptakan dari debu tanah menurut “gambar Allah” dan diberikan nafas kehidupan oleh Allah – telah dikotak-kotakkan berdasarkan keunikan yang Allah berikan dan berdasarkan usia. Semua keunikan dan kekhasan masing-masing dimanfaatkan oleh pikiran-pikiran yang berpusat pada diri dan kelompok sendiri sebagai sarana pengkotak-kotakan yang memisah-misahkan umat manusia, dan merusak “keguyuban” komunitas yang terdiri dari orang-orang yang beragam, . . . padahal kita semua direngkuh oleh Allah.
Kita semua membutuhkan istirahat, membutuhkan makanan, serta beragam kebutuhan yang lain. Apakah kita bersikap jujur tentang kebutuhan sendiri, serta bersikap santun dan belarasa satu terhadap yang lain di saat yang rumit dan melelahkan sebagai dampak pandemi? Sementara juga penting untuk terus mengerjakan tugas dan tanggungjawab kita masing-masing. Pandemi ini telah menyebabkan banyak diantara kita terguncang dan kehilangan orientasi.
Tidak apa-apa untuk mengatakan dan mengakui bahwa kita (atau saya) tidak OK. Atau mungkin kita malah sudah depresi, tetapi kita tutup-tutupi? Karena itulah yang diperlukan — pengenalan dan pengakuan atas kebutuhan diri sendiri — agar kita mendapat jalan kepada pemulihan dan penyembuhan.
Amin.
Kadarmanto Hardjowasito
Leave a Reply