Saya menduga kita tidak dapat mengasihi Tuhan dengan benar tanpa mengasihi sesama kita atau mengasihi sesama kita dengan benar tanpa mengasihi Tuhan. Saya percaya mengasihi Allah dan mengasihi sesama secara hakiki (intrinsik) terhubung. Saya percaya inilah sebabnya Yesus menyebutkan keduanya dalam napas yang sama sebagai perintah-perintah terbesar (Mat. 22:37-40). Saya menduga Kita tidak dapat mengasihi Tuhan dengan benar tanpa mengasihi sesama kita atau mengasihi sesama kita dengan benar tanpa mengasihi Tuhan. Sudut pandang yang disampaikan dari perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati (Lukas 10: 25-37) adalah bahwa menunjukkan belas kasihan kepada mereka yang membutuhkan adalah salah satu cara untuk mengasihi Allah.
Terkadang altruisme atau kebaikan kepada orang lain bisa menjadi cinta diri terselubung. Kita mungkin mengasihi orang lain hanya untuk akhirnya memperoleh manfaat bagi diri kita sendiri, apakah itu promosi diri atau bahkan mendapatkan “pahala” dari Tuhan. Ini bahkan mungkin terjadi secara tidak disadari. Ujian apakah cinta kita tulus adalah jika kita harus membayar untuk mencintai.
Bagi Orang Samaria yang Baik Hati, mengasihi itu memang mahal. Pertama, itu menghabiskan waktu dan perubahan rencana ketika dia berhenti dari perjalanannya, guna membantu pria yang terluka di jalan. Dia menggunakan perawatan dan sumber dayanya sendiri untuk membalut luka pria itu, menuangkan minyak dan anggur. Dia meletakkan pria yang terluka itu di atas keledainya, yang berarti dia harus berjalan sebagai gantinya. Dia membawa pria itu ke sebuah penginapan dan merawatnya untuk hari itu. Keesokan harinya, dia membayar pemilik penginapan dua dinar, yang merupakan upah dua hari saat itu. Ini berarti sekitar tiga setengah minggu masa rawat inap, mengingat bahwa tarif harian rata-rata penginapan saat itu adalah sekitar seperdua belas dinar. Ini uang yang banyak.
Kemudian dia berjanji kepada pemilik penginapan untuk mengganti biaya tambahannya. Saya berpikir kita orang modern tidak sepenuhnya paham akan risiko besar di sini. Pada masa itu seorang terutang dapat dijual sebagai budak atau dipenjarakan jika dia tidak dapat membayar utangnya (lihat Matius 18:22–35). Orang Samaria, oleh karena itu, mengambil risiko besar dengan setuju untuk mengganti pemilik penginapan dari biaya lebih lanjut.
Selain itu, kita tidak boleh lupa bahwa orang Samaria itu bepergian di wilayah musuh, di mana penduduknya mungkin membencinya. Hanya satu pasal sebelumnya, murid-murid Yesus sendiri dengan cepat menawarkan memanggil api dari surga untuk menghancurkan sebuah desa Samaria (Lukas 9: 51-56). Orang Samaria itu mempertaruhkan nyawanya, atau setidaknya mempertaruhkan kemungkinan cedera pada dirinya, dengan membawa seorang pria Yahudi yang setengah mati ke sebuah kota Yahudi. Apakah orang-orang Yahudi berpikir dia bertanggung jawab atas luka-luka orang itu? Dalam konteks rasisme Amerika pada jaman Jim Crow (parohan ke dua abad ke 19), ini kurang lebih sama dengan bila seorang pria kulit hitam, membawa seorang pria kulit putih setengah mati ke sebuah kota kulit putih di pedesaan selatan AS.
Yesus mengangkat kisah kasih yang mahal ini sebagai model kita tentang apa artinya menjadi sesama. Cinta sejati bersedia membayar harga untuk cinta. Suatu tindakan mungkin bukan cinta jika tidak ada biaya, pengorbanan, atau bahkan risiko yang terlibat. Misalnya, memberi tahu orang-orang secara online untuk bertobat atau mengoreksi teologi mereka sambil tetap aman dan anonim di balik layar gajet (atau komputernya) bukanlah kasih. Saya juga menghormati dan mengagumi mereka yang telah terluka, bahkan trauma, oleh sesama orang Kristen, tetapi masih berusaha untuk mengasihi sebagai balasannya. Itu adalah cinta yang mahal. Saya akui saya sering gagal.
Kasih Yesus bagi kita sangat mahal. Itu yang membuat Dia mati di kayu salib. Paskah ini, berterimakasihlah kepada Tuhan atas kasih-Nya yang mahal. [penerjemah-penyadur: kh]
Tentang Penulis: Shiao Chong adalah Pemimpin Redaksi dari The Banner.
[i] Shiao Chong, The Banner – February 26, 2024. Editorial.
Leave a Reply