Khotbah HUT 79 GKJ Jakarta disampaikan pada 27 Juni 2021
GEREJA SEBAGAI AGEN PERUBAHAN (Agent of Change)
atau PERINTANG PERUBAHAN (Obstacle of Change)?
Pembacaan Alkitab1. 2 Samuel 1:1, 17-27 – Daud meratapi kematian Saul dan Yonatan
2. Mazmur 130 – Seruan dari dalam kesusahan
3. 2 Korintus 8:7-15 – Pelayanan kasih, supaya ada keseimbangan.
4. Markus 5:25-34 – Perempuan yang sakit pendarahan, disembuhkan.
Khotbah
Selamat pagi bapak, ibu, sdr-sdr dan anak-anak yang terkasih.
Tema khotbah kita pada pagi ini, ialah: “MENJADI GEREJA yang TERBUKA dan TERUS BERTRANSFORMASI BERSAMA MASYARAKAT.”
Pada hari ini kita mengingat dan bersyukur atas berkat Tuhan kepada GKJ Jakarta yang genap berusia 79 tahun pada tgl 21 Juni 2021. Ibarat manusia, usia 79 tahun dapat dilihat dari dua kategori usia yang berbeda. (i) Menurut Kategori Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO),[1] usia 79 tahun masih termasuk “usia menengah,” belum sepuh atau belum ‘senior’ [lihat Footnote] (ii) Menurut Sejarah Gereja global, 79 tahun bagi sebuah Gereja belum cukup tua. Belum apa-apa. Sementara kekristenan dan gereja secara global sudah berusia lebih dari 2000 tahun. GKJ Jakarta masih dibawah umur, masih kanak-kanak balita (masih lucu-lucunya), masih dalam taraf pertumbuhan yang paling menentukan (baik secara fisik, psikologis, intelektual, maupun iman), yang semuanya secara utuh akan menentukan karakternya.
Tema Utama HUT ke-79 kita ialah: “Tetap Kuat dan Tegar di Jalan Tuhan.” Ibarat kanak-kanak — atau mungkin remaja — yang saya gambarkan di atas, maka agaknya GKJ Jakarta gemar “olah raga JALAN” — entah “jalan kaki” atau “jalan-jalan” — di “jalan Tuhan.” Saya tidak akan membahas tema ini, karena Minggu yang lalu sudah dibahas oleh rekan sejawat saya Pdt Neny Suprihartati, dan dalam Sarasehan dengan Sekum Sinode, Pdt Sundoyo.
Saya hanya mengingatkan, bahwa di dalam setiap perjalanan, kita akan selalu mempunyai peluang menjumpai hal-hal baru yang dapat memperkaya pemahaman dan membangkitkan kembali ingatan kita, serta yang dapat memengaruhi pola pikir (mindset) kita. Perjalanan yang baik dapat membuat kita terbuka dan (semoga) membuat kita berani bertransformasi. Apa lagi sebuah perjalanan mengikut Tuhan — yang berjalan di muka — kalau kita mengikuti gambaran perjalanan Israel dari Mesir (tempat perbudakan) ke Kanaan (tanah perjanjian). Banyak hal baru, pengalaman baru, pergumulan baru, tantangan baru, setiap kali umat Israel harus membongkar tenda-tenda dari perkemahannya, menggulungnya dan maju, berjalan mengikuti “Jalan Tuhan” yang berada di depan dalam wujud tiang awan yang memandu perjalanan mereka. Israel dalam perjalanan mengikuti “jalan Tuhan” tidak berkesempatan untuk MAPAN dan beristirahat berlama-lama. Sebentar-sebentar harus bergerak dan berjalan kembali dengan segara risiko serta kemungkinan-kemungkinan yang terbuka. Namun, ibarat kanak-kanak, kita juga mengenal kanak-kanak yang serba takut bergerak maju, takut berubah, takut terhadap bahaya-bahaya yang ada di dalam angan-angannya, dengan akibat anak itu kehilangan kesempatan untuk belajar tentang hal-hal baru dan berkembang dengan lebih cepat.
Di dalam bacaan Alkitab kita hari ini kita mendapat inspirasi yang sangat kaya tentang keutamaan proses TRANSFORMASI sebuah Gereja, sebuah komunitas orang beriman.[2] Pentingnya kita semua — sebagai GKJ Jakarta maupun sebagai pribadi — (terus) bertransformasi. Saya akan urutkan saja dari bacaan pertama:
1. [2 Samuel 1:1, 17-27]
Membaca ratapan duka Daud kita menyaksikan kualitas iman dan kualitas relasi Daud dengan Saul dan Yonathan. Daud tetap mampu mengasihi Saul, padahal pada tahun-tahun akhir hidupnya, raja Saul metargetkan Daud untuk dibunuh. Kemarahan Saul dipicu oleh kecemburuan Saul atas keunggulan Daud dalam peperangan dan pilihan Allah atas Daud untuk menggantikan Saul sebagai raja, pada waktunya kelak. Tuhan tidak memilih Yonatan – sang putra mahkota – untuk menggantikan Saul, ayahnya. Padahal sejak awal Saul sangat mengasihi Daud, dan Daud bersahabat erat dengan Yonatan, putra Saul. Hubungan tiga pribadi ini sungguh menarik. Yonatan, mengetahui bahwa Daud yang ditetapkan Allah menggantikan Saul kelak, tidak mengubah keakraban serta ketulusan persahabatannya dengan Daud. Yonatan dan Daud tetap menjalani persahabatan yang erat dan istimewa. Sementara Saul, menjadi marah dan berkeinginan untuk membunuh Daud.
Pada waktu Saul dan Yonathan meninggal dalam peperangan dengan orang Filistin, Daud menunjukkan ketulusan cinta-kasihnya kepada Saul – dan tentu saja kepada Yonatan sahabat setianya – dan meratapi dengan sungguh-sungguh kematian ke dua orang itu. Daud menangisi kematian orang yang mengejar-ngejar dirinya untuk dibunuh, karena Daud mengenal cintakasih Saul yang mula-mula. Cinta kasih Saul yang mula-mula kepada Daud tidak hilang dari ingatan dan perasaan Daud, meskipun akhir-akhir ini Saul terus memburu dan ingin membunuh Daud. Eror dari Saul menjelang akhir masa jabatannya sebagai raja tidak membuat Daud membecinya. Sebuah sikap besar yang ditunjukkan oleh Daud. Rasa hormat dan cinta-kasih Daud kepada orang yang menerima tahbisan dari Tuhan untuk menjadi raja Israel.
Sikap Daud itu mencerminkan sikap yang dikehendaki Allah. Allah membenci dosa yang dilakukan manusia, TETAPI Allah tidak pernah membenci manusianya, Allah tetap mengasihi manusia. Dari sini kita perlu belajar bertransformasi untuk dapat bersikap demikian terhadap orang lain, terhadap sesama kita. Kita bisa beda pendapat dan berdebat dengan seru tentang suatu hal, tetapi kita tidak perlu lalu saling membeci. Kita perlu belajar dan bertransformasi agar dapat membedakan antara “si manusia” dengan “buah pikiran atau pendapatnya.”
2. [Mazmur 130] Ada tiga hal utama kita lihat dari pemazmur:
1. Pengakuan dosa dan permohonan pengampunan dari Tuhan;
2. Merindukan dan mengharapkan firman Tuhan kepadanya;
3. Bersaksi tentang kasih-setia dan karya pembebasan Tuhan terhadap umat-Nya, dengan membebaskan Israel dari semua kesalahannya.
Saya kira momen ulang tahun adalah saat yang sangat tepat untuk mengakui dosa-dosa kita, dan mengharapkan sapaan TUHAN secara khusus. Sebagai GKJ Jakarta, kita juga perlu belajar dari pengakuan dosa pemazmur di atas.
Berani mengakui dosa-dosa yang telah kita lakukan sebagai gereja membutuhkan keberanian yang besar! Lebih-lebih dosa-dosa struktural dan dosa sistemik oleh karena gereja mempunyai struktur dan mempunyai sistem yang selalu perlu diperbarui demi pelayanan Gereja kepada manusia & masyarakat yang terus menerus bertransformasi. Bukan demi diri Gereja sendiri. Struktur dan sistem yang kelemahannya adalah kecenderungan melayani struktur dan sistem itu sendiri.
3. [2 Korintus 8:7-15] Di sini Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat Korintus, memberikan kesaksiannya tentang sikap jemaat/gereja Makedonia. Jemaat Makedonia — yang secara sosial-ekonomi jauh di bawah jemaat Korintus — telah menunjukkan ketulusannya yang besar dalam memberi, bahkan memberi “melampaui kemampuan mereka” (ay. 3b). Dalam berbagi. Jemaat Makedonia yang sangat miskin itu, justru menjadi kaya dalam kemurahan (ay. 2). Paulus tidak sedang membanding-bandingkan dan merendahkan jemaat Korintus. Nasihat Paulus kepada jemaat Korintus agar mereka memberi dengan kerelaan, bukan karena terpaksa tetapi memberi berdasarkan apa yang ada pada mereka (ay. 12). Dan tujuannya? . . . “supaya ada keseimbangan” (ay. 13). “Orang yang mengumpulkan banyak, tidak kelebihan dan orang yang mengumpulkan sedikit, tidak kekurangan” (ay. 15).
Pada hari ulang tahun ini kita juga sepatutnya bertanya kepada diri kita, baik sebagai GKJ Jakarta maupun sebagai pribadi warga GKJ Jakarta, “apakah kita juga telah berbagi dengan kerelaan dan sungguh-sungguh berdasarkan apa yang ada pada kita?“
Adakah GKJ Jakarta gereja yang berbagi? Atau gereja yang mempergunakan sumber-sumbernya (berkat-berkat yang diterimanya) hanya untuk dirinya sendiri? Demikian pula kita sebagai pribadi-pribadi?
4. [Markus 5:25-34] Sembuhnya seorang Perempuan yang Sakit Pendarahan.
Dari pendalaman atas kisah dalam Injil Markus di atas muncul beberapa hal yang membantu kita memahami betapa dahsyatnya peristiwa itu dari segi “transformasi keagamaan” (kalau boleh saya katakan demikian) yang berdampak pada “transformasi masyarakat.”
Pada masa itu berlaku apa yang dikatakan dalam (Imamat 15:19-31 –> baca hanya ayat 19-24).
Pada saat orang banyak melihat perempuan yang menderita pendarahan menyusup ke tengah kerumunan, mereka yang mengetahui pastilah takut bercampur marah. Perempuan yang sedang mengalami pendarahan (karena menstruasi atau sebab lain) dipandang ‘kotor’ dan ‘najis, cemar’ menurut hukum agama (dan adat istiadat) Yahudi pada waktu itu. Karena itu orang tidak boleh bersentuhan atau tersentuh (Imamat 15:19-31). Bila orang tersentuh atau menyentuh perempuan itu maka orang itu harus segera menyucikan dirinya. Caranya: harus langsung mencuci pakaiannya, mandi, dan mengasingkan dirinya, karena masih dipandang najis, sampai matahari terbenam. Waktu perempuan itu memaksa mendekati Yesus agar dia disembuhkan, pasti sejumlah orang tersentuh (walaupun sebagian yang melihat dia mendekat tentu cepat berusaha menghindar), dan Yesus jelas-jelas mengetahui bahwa jubahnya disentuh oleh perempuan itu. Maka Yesus pun menjadi najis. Mereka yang taat aturan imamat pasti harus segera mengikuti ritus penyucian diri seperti di atas. Yesus tidak mengikuti “aturan Imamat” itu.
Proses sembuhnya perempuan itu tentu memengaruhi orang banyak yang berkerumun disekitar Yesus. Sehingga, kuasa penyembuhan Yesus itu juga berdampak pada orang banyak. Mereka harus memilih: (i) percaya kepada Yesus, atau (ii) mengikuti ‘aturan kesucian’ lalu meninggalkan Yesus untuk melakukan ‘ritus penyucian diri?‘ Dengan perkataan lain, keberanian perempuan itu untuk menjamah jubah Yesus (yang sedang berada di tengah kerumunan orang banyak) dan kuasa penyembuhan dari Yesus atas perempuan yang berjuang itu:
(i) menjadi pemicu bagi komunitas (& orang banyak) untuk memikirkan ulang ‘aturan kesucian dan penyucian diri’ yang selama ini mereka pegang teguh sebagai dogma dan hukum agama;
(ii) menunjukkan bahwa Yesus memilih ‘melindungi orang’ daripada memegangi peraturan kesucian yang ‘mengasingkan orang.’
Ini soal transformasi hukum agama (dogma) yang telah menjadi budaya suatu masyarakat pada jaman tertentu. Kekuatan penyembuhan yang dimiliki oleh Yesus yang bertemu dengan kenekatan perempuan yang ingin sembuh itu telah memicu proses transformasi di dalam diri para murid Yesus dan di dalam masyarakat yang setidak-tidaknya diwakili oleh orang banyak yang berkerumun di sekitar Yesus pada waktru itu.
Akhirnya,
Apakah visi besar GKJ Jakarta dalam memasuki dasa warsa ke delapan usianya akan membuat gereja ini menjadi AGEN PERUBAHAN (“Agent of Change“) atau justru membuat gereja kita ini menjadi PERINTANG PERUBAHAN (“Obstacle of Change“)?
Baiklah kita bersama secara serius berusaha menjawab pertanyaan itu secara jujur dan apa adanya, . . . melalui upaya kita mawas diri, mengenal potensi dan keterbatasan diri dan melalui upaya kita bersama untuk memandang ke depan dan ke belakang dengan menyadari perubahan-perubahan cepat yang sedang terjadi dalam masyarakat dan dunia kita.
Amin. Kadarmanto Hardjowasito (KH)
[1] Berdasarkan kwalitas kesehatan rata-rata dan usia harapan hidup, WHO mengeluarkan sebuah pembagian tingkat usia yang baru, sbb.:
• 0-17 tahun: dibawah umur (underage)
• 18-65 tahun: pemuda/i (young people)
• 66-79 tahun: usia menengah (middle-aged)
• 80-99 tahun: sepuh (senior)
• 100+ tahun ke atas: senior dgn usia lanjut (long-lived elderly)
[2] KBBI mendefinisikan “transformasi” sebagai: perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya).
Leave a Reply